Penanganan Wabah DBD Tahun 2007, Kinerja Pemerintah tidak Memuaskan
Tanggal : 20 Feb 2008
Sumber : Media Indonesia
Prakarsa Rakyat,
Jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) 2007 naik cukup tajam. Demikian pula jumlah penderita yang meninggal akibat virus yang ditularkan nyamuk tersebut. Meski kerap dilanda wabah setiap tahun, Indonesia masih gagal mengantisipasinya, seakan tidak pernah belajar dari pengalaman.
Penyakit DBD sudah menjadi problem kesehatan yang selalu muncul berulang setiap tahun. Sebagai daerah beriklim tropis, Indonesia tidak mungkin terbebas dari penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk itu. Laporan Departemen Kesehatan (2006) menyebutkan penyakit itu sudah menjadi masalah yang endemik di 122 daerah tingkat II, 605 kecamatan, dan 1.800 desa atau kelurahan. Tak mengherankan jika penderita DBD akhirnya selalu ada hampir sepanjang waktu dalam satu tahun.
Meski demikian, wabah tidak akan terjadi seandainya kita pandai mengantisipasinya. Meski sudah dimaklumi wabah akan memuncak di musim hujan dan peralihannya ke musim kemarau, kerap kali kita lalai mengantisipasinya.
Biasanya kurang ada upaya yang sistematis untuk mengantisipasi berkembangnya penularan virus dengue. Gerakan menguras, menutup, dan menimbun (3M) baru dikampanyekan setelah DBD mewabah, bukan di awal musim hujan saat wabah belum terjadi. Para juru pemantau jentik (jumantik) pun baru belakangan dikerahkan. Sementara itu, di hari-hari lainnya, langkah-langkah tersebut dilupakan sampai saatnya nanti wabah kembali datang.
Data yang dikeluarkan WHO dan Depkes menunjukkan pada 2007 jumlah kasus DBD melonjak menjadi 139.695 kasus atau tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Dalam tiga tahun terakhir memang sudah terlihat jumlah kasus DBD cenderung menanjak cukup tajam. Jumlah kasus DBD 2001-2007 jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan dekade 1990-an. Kasus DBD di era 1990-an melonjak tajam hanya pada 1998. Tidak diketahui jelas, apakah kasus 1998 itu berhubungan dengan situasi politik nasional saat itu yang sedang mengalami turbulensi? Namun secara umum jumlah kasus DBD yang terjadi pada kurun 2001-2007 membengkak luar biasa jika dibandingkan dengan dekade 1990-an.
Data yang dikeluarkan WHO dan Depkes juga menunjukkan 2007 tercatat sebagai tahun dengan jumlah korban meninggal terbesar sejak wabah 1998. Pada 2007, Depkes melaporkan ada 1.395 korban wabah yang akhirnya meninggal dunia, hampir menyamai jumlah korban wabah yang meninggal pada 1998, saat puncak tertinggi kasus DBD dekade 1990-an.
Yang juga menarik adalah melihat data jumlah kasus pada dekade 1980-an. Pada dekade tersebut, puncak tertinggi kasus DBD terjadi pada 1988, tercatat ada 44.573 kasus DBD dan 1.527 korban meninggal. Sementara itu, puncak tertinggi kasus DBD pada dekade 1990-an terjadi pada 1998. Apakah itu berarti puncak tertinggi kasus DBD di dekade 2000-an bakal meledak pada 2008? Jika kita masih tetap lamban mengantisipasinya, mungkin saja 2008 ini kita akan dihantam wabah DBD yang paling dahsyat.
Serangkaian kasus wabah penyakit seperti DBD yang terus meningkat jumlahnya membuktikan kedatangan wabah lepas dari pantauan petugas dinas kesehatan. Itu karena kegiatan pemantauan dan pemetaan tidak merata dilakukan di semua wilayah. Hal itu pernah diakui oleh Depkes, melalui kajian Litbang Depkes yang menemukan kinerja surveillance penyakit-penyakit menular ternyata tidak merata di seluruh Indonesia.
Hasil evaluasi dan intervensi Depkes juga menemukan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia diakibatkan beragam faktor. Pertama, pada dasarnya penyakit menular masih bersifat endemik di beberapa wilayah. Itu menyebabkan sewaktu-waktu mungkin bisa terjadi KLB. Faktor kedua adalah lemahnya sistem kewaspadaan dini sehingga penanganan dan pengobatan kasus sebagai intervensi belum dilakukan sebagaimana mestinya. Ketiga adalah kemudahan alat transportasi memungkinkan pergerakan/perpindahan alat angkut, penumpang, bahan/barang, dan alat dari satu wilayah ke wilayah lainnya yang merupakan daerah endemik. Ketiga faktor itu kemudian diperparah dengan lemahnya kesadaran masyarakat akan paradigma hidup sehat dan kesadaran pada kondisi lingkungan sekitar sebagai faktor risiko penyebaran penyakit.
Selama ini, langkah yang dilakukan Depkes untuk mengatasi wabah adalah memfasilitasi daerah (provinsi dan kota/kabupaten) dalam bentuk pedoman dan standar penanggulangan KLB. Depkes juga berupaya meningkatkan sistem kewaspadaan dini (SKD) di setiap jenjang administrasi pemerintahan dalam melakukan antisipasi terjadinya wabah. Melalui jenjang birokrasi demikian, diharapkan pemetaan potensi wabah-wabah penyakit bisa dilakukan lebih baik. Namun seperti yang kita alami sekarang, berbagai wabah penyakit terjadi di mana-mana tak tertahankan. Karena itu, sekarang kita patut pertanyakan, sejauh mana langkah-langkah dalam sistem kewaspadaan dini tadi sudah berjalan.
Sekitar satu tahun lalu, persisnya 22 Februari 2007, Litbang Media Group pernah melakukan pengumpulan pendapat umum melalui telepon kepada masyarakat di enam kota besar di Indonesia, yaitu Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan Medan. Survei itu mencakup 479 responden dewasa yang dipilih secara acak dari buku petunjuk telepon residensial di kota-kota tersebut. Hasil survei tersebut tidak dimaksudkan mewakili pendapat seluruh masyarakat Indonesia, namun hanya masyarakat pemilik telepon residensial di kota-kota tersebut. Margin of error survei ini plus minus 4,6% pada tingkat kepercayaan 95%.
Pertama, survei ini meminta penilaian publik, apakah puas atau tidak puas dengan kinerja pemerintah kota tempat mereka tinggal dalam hal menangani wabah demam berdarah. Hasil survei menunjukkan lebih banyak yang menilai tidak puas 54%, yang menilai puas ada 38%.
Salah satu antisipasi mewabahnya DBD adalah dengan memantau keberadaan jentik nyamuk di lingkungan sekitar rumah warga. Untuk itu kelurahan atau dinas kesehatan mengerahkan juru pemantau jentik (jumantik). Bagaimana praktiknya, apakah memang ada petugas pemantau jentik nyamuk datang ke rumah-rumah menjelang wabah datang?
Hasil survei menunjukkan mayoritas 61% mengaku tidak ada satu pun petugas dari kelurahan atau dinas kesehatan yang datang ke rumah-rumah sekitar mereka untuk memantau jentik nyamuk. Data itu menjadi indikasi langkah-langkah antisipatif menjelang wabah terjadi saat itu tidak dilakukan oleh pemerintah.
Hasil survei melalui telepon tadi mungkin bisa menjadi indikasi kenapa wabah DBD masih kerap terjadi dengan memakan korban jiwa yang begitu banyak, seperti yang tercatat sepanjang 2007. Langkah-langkah antisipatif, seperti pemantauan jentik nyamuk dan peringatan pada masyarakat menjelang datang musim hujan terlambat digalakkan. Ketiadaan upaya sistematis untuk mengantisipasi berkembangnya penularan virus dengue sebelum musimnya terjadi itulah yang membuat setiap tahunnya korban yang terjangkiti dan meninggal akibat demam berdarah senantiasa tinggi.
Kunci penanggulangan wabah penyakit dan pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah pengawasan yang ketat untuk pelaporan dini dan diagnosis wabah penyakit. Pemerintah mungkin terlambat dalam menerima laporan kasus dari lokasi wabah. Akibatnya tentu saja pemerintah juga terlambat merespons situasi darurat tersebut sehingga berpengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan tindakan yang diambil di lapangan.
Keberadaan jumantik sesungguhnya amat penting dalam pemberantasan demam berdarah karena bertugas memantau populasi nyamuk penular DBD dan jentiknya. Pemerintah perlu lebih serius untuk mengerahkan dan memanfaatkan keberadaan para jumantik hingga lingkungan masyarakat terkecil seperti RT dan RW. Tanpa kepemimpinan daerah yang kuat dan dukungan aparat pemda hingga level terendah, penanggulangan wabah akan terus buruk. Zulfahmi, Litbang Media Group
No comments:
Post a Comment