Nyamuk Aedes Aegypti

Nyamuk Aedes Aegypti

Wednesday, March 2, 2011

DBD, mengapa sulit ditanggulangi?

Tuesday, 23 November 2010 06:07

DBD, mengapa sulit ditanggulangi?

Opini

UMAR ZEIN

Beberapa kota besar di Indonesia dikenal sebagai kota endemik DBD (Demam Berdarah Dengue), termasuk Medan. Kota lainnya adalah Jakarta, Surabaya, Bandung, Makasar, Lampung, Palembang, dan lainnya. Di Sumatera Utara, beberapa kabupaten/kota sudah lama menjadi daerah endemik DBD, seperti Langkat, Tanjung Balai, Binjai, Deli Serdang, Tebing Tinggi, Serdang Bedagai dan lainnya.

Semakin padat penduduk suatu kota, maka penularan DBD akan semakin mudah dan semakin cepat. Berbagai teori pemberantasan dan pencegahan DBD sudah lama diterapkan. Kita kenal Pokja (kelompok kerja) dan Pokjanal (kelompok kerja fungsional) yang dikatakan sangat efektif untuk memberantas sarang nyamuk di kelurahan dan desa. Ada juga istilah pemantau jentik, jumantik (juru pemantau jentik) yang direkrut dari kepala lingkungan dan kader serta istilah patroli kesehatan.

Semuanya merupakan upaya mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti yang membawa virus dengue. Kita semua tahu istilah 3M untuk pemberantasan sarang nyamuk, namun faktanya, penularan penyakit ini masih saja berlanjut sepanjang tahun, tanpa dipengaruhi intervensi yang dilakukan. Atau, faktanya, apakah intervensi yang dilakukan sudah benar?. Di sinilah masalahnya! Slogan 3 M (Menutup, Menguras, dan Mengubur) yang secara nasional sudah digaungkan oleh Kementerian Kesehatan/Departemen Kesehatan sejak tahun 80-an, ternyata tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

Penurunan jumlah kasus atau lebih dikenal dengan Incidence Rate yang ditetapkan secara nasional tidak boleh lebih dari 5 % (lima kasus dalam 100.000 penduduk selama satu tahun) tidak pernah tercapai di suatu daerah endemik. Belum lagi masalah pencatatan dan pelaporan dari seluruh unit layanan kesehatan yang belum maksimal.

Kenapa sulit?
Sebenarnya kejadian luar biasa (KLB) DBD sudah berulang dan untuk kesekian kalinya terjadi di berbagai kabupaten/kota di Indonesia. Dapat dipastikan kalau kita tidak mengubah cara penanggulangan DBD secara nasional dan serentak, Indonesia tidak mungkin bebas dari KLB DBD.

Virus penyebabnya sudah diketahui ada empat serotipe, yaitu D1, D2, D3 dan D4, namun sampai sekarang obat dan vaksinnya belum ditemukan. Beberapa peneliti sudah menemukan calon-calon vaksin, tetapi masih harus diteliti lebih mendalam. Para ilmuwan masih kalah bersaing dengan virus dengue. Jenis nyamuk penular (vektor) DBD sudah tidak asing lagi bagi masyarakat yaitu Aedes aegypti yang oleh masyarakat biasa dikenal dengan nyamuk demam berdarah dengan ciri tubuh berwarna belang-belang hitam putih.

Perilaku nyamuk dewasa, habitat perkembangbiakannya sudah dipahami oleh para ilmuwan. Masyarakat awam sudah banyak yang tahu, nyamuk menggigit pada siang hari dan tempat perkembangbiakannya di kontainer buatan yang berada di permukiman penduduk, dan juga kontainer alamiah, seperti di pohon dan bunga-bungaan. Namun ada satu hal yang dilupakan atau luput dari pengamatan kita. Aedes selalu berupaya mempertahankan spesiesnya dengan merubah perilakunya agar keturunannya tetap survive. Aedes juga sudah banyak yang resisten (kebal) terhadap insektisida yang lazim digunakan. Apalagi kalau penggunaannya dengan dosis yang tidak standard dan daerah jangkauan serta ritme yang tidak optimal.

Meskipun DBD sudah banyak diketahui oleh petugas kesehatan dan masyarakat, namun KLB masih sering terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang DBD dan cara pengendalian serta antisipasi pencegahannya masih sangat lemah dan dapat dikatakan masih sekedar retorika dan seremonial belaka. Di sini kunci jawaban mengapa KLB selalu terjadi.

Penyakit berbasis lingkungan
DBD merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan. Sehingga tidak ada cara yang ampuh untuk mencegah terjadinya penularan kecuali dengan memutus rantai penularan, yaitu mencegah gigitan nyamuk dan memberantas nyamuk penularnya. Dalam upaya penanggulangannya dibutuhkan pemikiran dan penelitian para ahli lingkungan, ahli entomologi (ahli serangga) serta ahli insektisida.

Peranan biologi molekuler juga diperlukan dalam mengamati dan mengupayakan menghentikan penularan trans-ovarial pada nyamuk aedes. Penularan trans ovarial adalah penularan secara intra molekuler pada sel-sel telur nyamuk terinfeksi, sehingga begitu telur nyamuk menetas menjadi jentik, di dalam tubuhnya telah ada virus dengue yang menetap hingga jadi nyamuk dewasa dan siap ditularkan kepada manusia yang di tusuknya.

Jumlah kasus DBD berhubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat setempat untuk untuk mengkontrol perkembangnya nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor pembawa virus Dengue pada wilayah tertentu. Partisipasi masyarakat sangat dipengaruhi oleh pimpinan wilayah baik tingkat kelurahan, kecamatan dan wilayah kabupaten/kota. Memang bisa saja rakyat bergerak sendiri tanpa komando pimpinan wilayah tetapi berapa banyak partisipasi masyarakat yang muncul dengan sendirinya?

Peranan petugas kesehatan mutlak, bukan saja di bidang pengobatan (kuratif), tapi lebih kepada promosi kesehatan dan tindakan pencegahan (preventif). Peran ini mencakup semua insan kesehatan yang ada di suatu wilayah, baik pemerintah dan swasta. Upaya penyuluhan dan promosi ini harus terus menerus dilakukan pada daerah endemik DBD, bukan hanya kalau jumlah kasus meningkat saja. Kepala wilayah (Camat dan Lurah) beserta jajarannya yang proaktif turun ke masyarakat menjadi penggerak masyarakat pasti akan berhasil meningkatkan partisipasi masyarakat dibandingkan pimpinan wilayah yang tidak turun ke masyarakat dan hanya berharap masyarakatnya bergerak sendiri mengatasi permasalahan yang ada di wilayahnya.

Slogan 3 M ternyata tidak efektif, karena masih saja hanya sebatas slogan dan tidak aplikatif dan tidak membudaya. Berbagai upaya untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan terutama untuk mencari sumber-sumber tempat hidup nyamuk harus terus menerus dilakukan. Di dalam rumah, setiap anggota keluarga harus mengamati tempat-tempat hidupnya jentik nyamuk seperti tampungan air dispenser, tampungan air di belakang kulkas, bak-bak mandi dan tampungan air lain didalam rumah. Selain itu vas bunga baik didalam maupun sekitar rumah harus diamati ada tidaknya air yang tergenang yang potensial untuk perindukan jentik nyamuk. Semua harus secara terus menerus diamati agar tidak dihidupi oleh jentik nyamuk. Bukan hanya sekedar untuk diketahui tetapi tidak dikerjakan

Kondisi hujan yang terjadi dan diselingi dengan cuaca panas akan berakibat terbentuknya genangan air yang memungkinkan telur nyamuk cepat berkembang menjadi jentik nyamuk dan menjadi dewasa. Harus diamati kaleng-kaleng bekas, ban-ban bekas, accu-accu bekas, botol-botol bekas minuman, serta drum-drum bekas dan barang pecah belah lain yang berserakan disekitar rumah yang potensial untuk digenangi air hujan untuk hidupnya jentik nyamuk. Secara wilayah harus menjadi perhatian tanah dan rumah kosong yang tidak terawat yang mungkin luput untuk diamati sehingga banyak genangan-genangan air yang terjadi yang berpotensi untuk tempat tinggalnya jentik nyamuk pembawa penyakit DBD ini. Jadi, slogan 3 M benar-benar tidak ”membumi” dan dibutuhkan revisi total agar sesuai dengan kondisi lapangan yang ada.

Pemahaman harus berubah
Perlu perubahan pemahaman kesehatan lama yang mengutamakan pelayanan kesehatan bersifat kuratif dan rehabilitatif digantikan paradigma pembangunan kesehatan baru, yaitu paradigma sehat yang bersifat proaktif. Paradigma sehat sebagai model pembangunan kesehatan diharapkan mampu menciptakan masyarakat mandiri dalam menjaga kesehatan melalui kesadaran yang lebih tinggi pada pentingnya pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif.

Program DBD harus mengutamakan promotif dan preventif termasuk peningkatan kapasitas petugas sebagai pintu masuk utama dalam meningkatkan pemahaman epideniologi penyakit. Langkah pertama ini harus diprogramkan dan dilaksanakan secara berkesinambungan dan bermitra dengan sektor terkait. Tindakan jangan hanya dilakukan secara mendadak dan insidentil bila sedang terjadi KLB, tapi reguler dan terus menerus. Dengan meningkatkan pemahaman pada masyarakat, maka masyarakat menjadi mandiri dan mampu secara aktif melindungi dirinya sendiri.

Peningkatan pemahaman tentang DBD perlu dilakukan terhadap semua lapisan masyarakat, yang diawali pada semua petugas kesehatan pemerintah dan swasta di suatu daerah. Baru kemudian ke tingkat lurah/kepala desa, kepala lingkungan, ketua RW, ketua RT, organisasi profesi, ilmuwan, dan masyarakat termasuk PKK, LSM, pemberdayaan anak sekolah, serta lintas sektor terkait. Bisakah mimpi ini terwujud?

Penulis adalah Pemerhati Kesehatan
http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=158065:dbd-mengapa-sulit-ditanggulangi&catid=25:artikel&Itemid=44

No comments:

Post a Comment